Minggu, 18 September 2011

sekilas PRESTASI LABFOR

Tantangan pelaksanaan tugas  kepolisian selalu berkait dengan keadaan dan perkembangan lingkungannya, kejadian besar teror dunia yaitu kejadian bencana teror bom Word Trade Centre (WTC) di New york Amerika Serikat tanggal 11 September 2001 telah mengguncang dunia, karena korbannya lebih dari 3000 orang. Tanpa diduga, pada tanggal 12 Oktober 2002 (tanggal, bulan dan tahun masing – masing di tambah satu) teror bom terbesar kedua terjadi di Indonesia, tepatnya di pulau Bali yang menewaskan 202 orang dari berbagai negara. Kemudian disusul pengeboman hotel JW Marriot Jakarta tanggal 5 Agustus 2003, pengeboman di depan Kedubes Australia, Bom Bali II dan lain - lainnya.
Apabila ditengok kasus – kasus teror bom yang mengguncang berbagai negara dunia sebelumnya seperti di Amerika Serikat, Inggris, India, pakistan dan sebagainya dimana kepolisiannya mempunyai sarana dan prasarana yang modern dan lengkap ternyata belum mampu mengungkap kasus – kasus tersebut, lebih ironis Amerika Serikat menggunakan “pasal gregetan“ menuduh Osamah bin Laden dengan kelompok Al-Qaedanya tanpa proses hukum yang valid dan tanpa pengadilan yang fair.
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan segala keterbatasan sarana dan prasaran ternyata mampu mengungkap kasus – kasus besar teror bom yang telah terjadi ditanah air. Sebagai contoh keberhasilan pengungkapan kasus bom periode 1999 – 2001 tercatat 163 kasus bom terungkap 104 kasus (70%), periode 2002 – 2004 terjadi 37 kasus berhasil diungkap 42 kasus (125%), keberhasilan tersebut disamping mengharumkan Polri dimata dunia internasional tetapi juga bangsa dan negara Indonesia.
Salah satu pengalaman Polri yang sangat  spektrakuler adalah pengungkapan kasus – kasus bom dengan menggunakan metode Scientific Crime Investigation (SCI / penyidikan secara ilmiah). Pengungkapan Kasus Bom Bali pada awalnya banyak diragukan berbagai pihak, apa mungkin Polri mampu mengungkapnya? Bahkan ketika setahap demi setahap mulai menapak mengungkap bom bali langsung terdengar tuduhan tak sedap, Polri telah merekayasa kasusnya.
Keberhasilan tersebut tentunya tidak lepas dari keterpaduan fungsi dan peran para ahli forensik dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berawal dari pengolahan Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan melakukan pemeriksaan dan menghubungkan micro evidence (barang bukti mikro), seperti pengungkapan identitas korban menggunakan pemeriksaan sidik jari (daktiloskopi), pemeriksaan deoxirybose nucleic acid (DNA), Serologi / darah, Odontologi Forensik (pemeriksaan gigi), disaster victimiIdentification (DVI) dan lain lain. Pengungkapan dengan menggunakan ilmu kimia, fisika dan lain – lain termasuk proses pelacakan salah satu tersangka yang didasarkan nomor seri kendaraan bermotor (nomor rangka dan nomor mesin) dengan metode penimbulan kembali (re-etching) nomor – nomor tersebut yang telah dirusak dengan reaksi kimia tertentu, serta penentuan bahan isian bom yang ditemukan di TKP yang identik dengan bahan yang ada di tubuh, pakaian, rumah, kendaraan tersangka.
Sebagaimana di ucapkan oleh Kepala Kepolisian Federal Australia (AFP = Australian Federal Police) Commisioner Mc. Keelty bahwa keberhasilan Polri dalam menangani teror bom adalah prestasi standar internasional, karena kepolisian berbagai negara tidak berhasil mengungkap teror bom dalam waktu relatif singkat.
Prestasi lainnya adalah keberhasilan dalam pengungkapan kasus Perampokan Bank CIMB Niaga di medan yang terjadi pada bulan Agustus 2010, kasus Penyerangan Mako Polsek Hamparan Perak Medan September 2010 dan kasus-kasus Terorisme serta kasus-kasus lain yang terjadi di indonesia. 
Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan salah satu tugas kepolisian adalah melakukan penyidikan. Penyidikan diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dalam upaya mencari dan mengumpulkan bukti dalam proses penyidikan, penyidik diberi kewenangan seperti yang tersirat dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP yang menyatakan bahwa mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara dan Pasal 120 ayat (1) KUHAP menyatakan dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Pengertian mendatangkan para ahli / memiliki keahlian khusus tersebut salah satunya dapat dipenuhi oleh Laboratorium Forensik (Labfor), dimana sesuai dengan Keputusan Kapolri No : Kep / 22 / VI / 2004 tanggal 30 Juni 2004 tentang perubahan atas Keputusan kapolri No. Pol. : KEP / 30 / VI / 2003 tanggal 30 Juni 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-satuan Organisasi pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia lampiran ”G” Bareskrim Polri Laboratorium Forensik mempunyai tugas membina dan melaksanakan kriminalistik / forensik sebagai ilmu dan penerapannya untuk mendukung pelaksanaan tugas Polri yang meliputi : kimia forensik, narkotika forensik, biologi forensik, toksikologi forensik, fisika forensik, balistik forensik serta fotografi forensik.
Untuk menanggulangi kejahatan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti tersebut di atas hanya dapat ditanggulangi dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi pula. Proses penyidikan kejahatan dengan menggunakan teknologi yang lazim disebut penyidikan secara ilmiah atau “scientific crime investigation dimana peran dan fungsi tersebut sebagian diemban oleh Labfor. Dan ”term”  scientific crime investigation telah teruji dalam proses pengungkapan kasus – kasus yang menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dibahas sebelumnya.

 sumber :
      2. sumber lain


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini